DEDI GUMELAR, FOTO : ISTIMEWA

Banda Aceh, AKTIFLAB – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) dari Fraksi PDI Perjuangan, Dedi Gumelar menuding Pemerintah Indonesia 10 tahun terakhir tidak memiliki strategi kebudayaan dalam mengembangkan pendidikan. Sehingga nilai-nilai kebudayaan semakin terkikis pada generasi muda saat ini.

Hal ini sangat kontras terlihat dari politik anggaran yang tidak berpihak pada pengembangan kebudayaan. Sejak 10 tahun terakhir, anggaran yang diperuntukkan untuk kebudayaan hanya 400 miliar untuk seluruh Indonesia. Baru sekarang ada penambahan anggaran yang mencapai 2 triliun, itupun setelah perdebatan panjang di Badan Anggaran DPR RI.

Hal tersebut disampaikan oleh Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan yang merupakan partai oposisi Pemerintah Sby-Bouediono Sabtu malam (27/1/2013) dalam Dialog Budaya yang diselenggarakan oleh Radio Seulawet. Dedi Gumelar yang duduk di komisi X menilai Pemerintah Indonesia belum memiliki sensitifitas dalam kebudayaan selama ini.
“Bangsa Indonesia gagal dalam membangun strategi secara kebudayaan, bahkan saya beranikan katakan tidak memiliki strategi kebudayaan, beginilah jadinya,” katanya.
Jadi jangan heran, katanya kembali, bila terjadi kekerasan dimana-mana. Karena memang dalam kurikulum pendidikan sendiri tidak memiliki sensitifitas kebudayaan. Sehingga karakter anak bangsa tidak memahami budaya dan kearifan lokal yang dimiliki oleh orang timur yang penuh cinta damai.
Dedi tegaskan, perlu Pemerintah Indonesia untuk mendorong agar pendidikan di Indonesia itu harus berbasiskan kebudayaan. Lihat China, katanya, mereka memasukkan nilai-nilai kebudayaan didalam kurikulum pendidikan. Sehingga saat ini apa yang terjadi? Justru tingkat kemajuan mereka jauh lebih maju dibandingkan Indonesia saat ini.
Wali Songo mengajarkan Islam itu dengan budaya, lanjut Dedi, yaitu dengan penampilan Wayang yang mensyiarkan Agama Islam.  Artinya budaya dan Agama tidak dapat dipisahkan. Jadi pendidikan harus berbasiskan budaya agar lebih mudah terserap dan anak bangsa tidak buta akan kearifan lokal yang dimiliki.
Bila pendidikan itu masuk melalui sendi-sendi budaya jelas Dedi, tentunya pemahaman anak bangsa akan jauh lebih baik. Bandingkan saat ini kurikulum pendidikan tidak sensitive budaya. Yang terjadi kekerasan terus muncul tanpa dapat dibendung.
Hal lain terjadi kerancuan dalam dunia pendidikan adalah ketika Pemerintah Pusat mengotonomkan pendidikan. Mestinya, jelas Dedi, pendidikan tidak perlu di otonomkan. Akan tetapi tetap menjadi kewenangan pemerintah pusat dalam mengontrolnya.
Editor: AKTIFLAB