FOTO : ISTIMEWA
Jakarta, AKTIFLAB - Mila dan Marieke masih sangat muda, masing-masing baru berusia 28 tahun dan 26 tahun. Namun jangan tanya kepeduliannya terhadap anak-anak cacat mental. Sudah lebih dari 6 tahun, keduanya mengurusi pendidikan anak cacat mental di Bali.

Bermula sejak 2007, Mila van der Meer dan Marieke Nijland datang dari Belanda untuk melakukan riset di Bali. Ada banyak hal yang menarik perhatian kedua gadis yang masih lajang ini, khususnya terkait pendidikan untuk anak-anak cacat mental atau tunagrahita.

Di seantero Bali, hanya terdapat 9 SLB (Sekolah Luar Biasa) milik pemerintah yang diperuntukkan untuk anak-anak tunagrahita. Guru-gurunya pun tidak semuanya punya ketrampilan khusus. Sebagian hanya guru sekolah biasa yang diperbantukan ke SLB.

"Kita butuh lebih banyak guru dan lebih banyak sekolah. Kita juga butuh lebih banyak lokasi karena kadang terlalu jauh," kata Mila yang kemudian bersama Marieke mendirikan Yayasan Sukacita, sebuah pusat pengetahuan dan informasi mengenai anak-anak tunagrahita di Ubud, Bali pada tahun 2010.

Sebagai sebuah pusat pengetahuan dan informasi, yayasan ini sering mengadakan lokakarya atau workshop untuk para guru dan orang tua. Tujuannya antara lain untuk meningkatkan perhatian atau awareness bahwa anak-anak cacat mental memiliki kebutuhan khusus yang berbeda dari anak pada umumnya.

"Sampai sekarang kita sudah bikin 4 lokakarya di Gianyar, itu untuk guru dan orangtua. Kalau guru-guru senang, kami beri lokakarya juga di sekolah lain," tambah Marieke saat ditemui detikHealth di sebuah coffeeshop di Bintaro, Jakarta Selatan, seperti ditulis pada Sabtu (26/1/2013).

Dalam memberikan berbagai pelatihan dan lokakarya, Mila dan Marieke tidak bergerak sendiri. Keduanya berkolaborasi dengan Suryani Institute, sebuah organisasi nirlaba yang bergerak di bidang kesehatan mental dan didirikan oleh Prof Luh Ketut Suryani, MD, PhD pada tahun 2005.

Harapannya tidak muluk-muluk, cukup agar para guru dan orang tua memiliki kesadaran bahwa anak-anak tunagrahita adalah anak-anak yang berbeda dan spesial. Dengan segala keterbatasannya, anak-anak tersebut juga berhak mendapat lingkungan yang kondusif untuk tumbuh dan berkembang.

"Karena itu kami pikir sekolah itu penting. Tidak hanya untuk belajar menulis dan berhitung, tetapi juga untuk belajar bersosialisasi. Begitu juga di rumah, mereka harus bisa merasa diterima dan merasa spesial. Karena mereka memang spesial," kata Mila.

Sumber: detik.com

Editor: AKTIFLAB