AKTIFLAB.com -- Pekan lalu, Muhammad Ridwan (45) mengeluarkan
biaya Rp 10,8 juta untuk mengirim 16 ton jeruk dari kampung halamannya
di Palopo, Sulawesi Selatan, ke Jakarta. Ongkos itu dua kali lipat lebih
mahal ketimbang mendatangkan jeruk dari Shanghai, China, ke Jakarta.
"Saya tengah berpikir untuk menekuni usaha yang lain,” ujar Ridwan yang malang melintang di usaha kargo selama hampir satu dekade.
Keresahan Ridwan memang beralasan. Betapa tidak? Biaya distribusi 16 ton jeruk dari Palopo ke Makassar (320 kilometer) menggunakan dua truk ukuran sedang menelan biaya Rp 8 juta. Pengiriman dari Makassar ke Jakarta dikenai biaya Rp 1,5 juta per kontainer. Belum lagi biaya bongkar muat di Pelabuhan Makassar dan Tanjung Priok yang menelan ongkos Rp 1,3 juta.
Total biaya itu jauh lebih mahal daripada biaya pengiriman jeruk dari Shanghai ke Jakarta yang hanya 500 dollar AS (sekitar Rp 5 juta). ”Kalau begini terus, bagaimana produk lokal bisa bersaing?” ujar Ridwan.
Apa yang dialami Ridwan diungkapkan pula oleh Hengky Pratoko, Ketua Umum Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia Jawa Timur. Menurut Hengky, biaya pengiriman peti kemas antarpulau di Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan biaya pengiriman barang ke sejumlah negara.
Sebagai perbandingan, biaya pengiriman dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, ke Makassar Rp 4,5 juta-Rp 7 juta per peti kemas ukuran 20 kaki (TEUs) dan Surabaya-Sorong Rp 13 juta-Rp 17 juta per TEUs. ”Padahal, biaya pengiriman dari Surabaya ke Malaysia hanya 350 dollar AS (sekitar Rp 3,4 juta) per TEUs, sedangkan biaya pengiriman Surabaya-Beijing, China, hanya sekitar 400 dollar AS (setara Rp 3,8 juta) hingga 500 dollar AS (setara Rp 4,85 juta),” kata Hengky.
Selain biaya pengiriman yang tinggi, pengusaha juga harus menanggung biaya lain akibat lamanya waktu tunggu di pelabuhan. Hengky mencontohkan, waktu tunggu bagi kapal kargo dan peti kemas di Pelabuhan Tanjung Perak bisa mencapai 7-16 hari.
Tentunya, hal ini berimbas pada membengkaknya biaya penggunaan kapal. ”Pemilik komoditas bisa menanggung denda keterlambatan pemakaian kapal 5.000-10.000 dollar AS (sekitar Rp 48,5 juta-Rp 97 juta) per hari. Semakin lama waktu tunggu tentu saja merugikan pengusaha,” kata Hengky.
Ketua Dewan Pimpinan Cabang Organisasi Pengusaha Nasional Angkutan Bermotor di Jalan Tanjung Perak Kodi Lamahayo mengungkapkan, pengusaha angkutan harus mengeluarkan biaya tambahan Rp 1 juta per hari untuk setiap truk yang menunggu di pelabuhan. ”Artinya, setiap hari ada pembengkakan biaya Rp 800 juta untuk 800 truk yang menganggur,” kata Kodi.
Pengusaha komoditas bisa saja meminta bongkar muat dipercepat, tetapi harus mengeluarkan biaya tambahan. Caranya, mengontrak para tenaga kerja bongkar muat dengan sistem borongan bukan kerja per giliran. Namun, biaya yang dikeluarkan dua kali lipat dibandingkan kontrak kerja biasa.
Rokhim, kepala perwakilan sebuah perusahaan kargo di Jayapura, mengatakan, kendala selain keterbatasan area bongkar muat adalah waktu pelayanan yang kurang efektif. Jam kerja efektif memang terhitung 24 jam, tetapi pada umumnya proses bongkar muat hanya efektif sekitar 12 jam.
Di luar itu, menurut Rokhim, pengusaha harus membuat perjanjian dengan buruh dengan memberi uang makan Rp 300.000 untuk siang hari dan Rp 500.000 untuk malam hari. Uang diberikan kepada mandor yang membawahkan 40 buruh.
Untuk membongkar 2.000 ton kargo, biasanya Rokhim membutuhkan waktu tiga hari. ”Kalau satu hari bisa bongkar 500 ton saja kami sudah bersyukur. Belum lagi jika ada kapal Pelni datang, kami harus keluar dulu,” kata Rokhim.
Untuk kargo, Rokhim mengenakan biaya Jakarta-Jayapura Rp 850.000 per ton. Namun, selain ongkos resmi, untuk mengeluarkan kargo dari pelabuhan pun perlu biaya tambahan. Biaya tambahan itu, Rp 20.000-Rp 50.000, diberikan kepada oknum di pintu masuk.
Lemahnya interkoneksi
Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia IV Harry Sutanto mengatakan, biaya pengiriman yang tinggi juga dipengaruhi lemahnya interkoneksi pelabuhan di wilayah Indonesia timur. Pengiriman komoditas dari Makassar ke Kendari (Sulawesi Tenggara), Ternate (Maluku Utara), dan Jayapura (Papua) harus dilakukan melalui Surabaya karena ketiadaan kapal yang langsung melayani rute itu.
Akibatnya, biaya pengiriman pun melonjak 2-3 kali lipat. Ongkos kirim dari Makassar ke Kendari, misalnya, menelan biaya Rp 8,1 juta per peti kemas dengan rincian tarif Makassar-Surabaya Rp 1,4 juta dan Surabaya-Kendari Rp 6,7 juta.
Ketua Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia Sulawesi Selatan dan Barat Sangkala Pawakka mengatakan, peningkatan fasilitas di terminal kargo harus diintegrasikan dengan kondisi pergudangan di luar kawasan pelabuhan. ”Selama ini, tidak semua gudang beroperasi semalam suntuk. Hal ini menghambat distribusi barang keluar dan masuk pelabuhan,” katanya.
Sinergi dibutuhkan untuk menekan biaya operasional pengusaha kargo. Antrean yang terlalu lama menyebabkan pengusaha harus mengeluarkan ongkos tambahan hingga Rp 18 juta per hari. Biaya itu untuk bahan bakar minyak, gaji kru, persediaan air tawar, dan sewa peralatan bongkar muat.
Direktur Operasi Indonesia Port Corporation Dana Amin mengatakan, jika layanan pelabuhan di Indonesia membaik, volume perdagangan antarpulau pasti melonjak. ”PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) kini sedang membangun infrastruktur di pelabuhan. Infrastruktur fisik itu didukung infrastruktur lunak berupa teknologi informasi supaya lebih efisien,” tuturnya.
Jika pelabuhan dan pelayaran efisien sehingga biaya logistik dapat ditekan, lingkup perdagangan akan mencakup seluruh Indonesia. ”Jualan mobil bekas tak lagi hanya di Jakarta. Pedagang dapat mengirimkannya dengan kapal laut ke pulau lain,” ujarnya.
Dana mengilustrasikan, mobil yang akan dijual tinggal dimuat ke dalam kapal. ”Lalu, katakanlah perjalanan kapal selama lima hari. Maka, saat itu pula penjual mobil tinggal menginformasikan mobil yang dijual melalui internet. Ketika tiba di Makassar, misalnya, mobil tersebut tinggal dipindahtangankan ke pembeli,” katanya.
”Efisiensi di pelabuhan dan teknologi untuk menjadikan efisien bukan barang baru, bukan pula produk canggih. Hanya saja, selama ini tidak ada yang mewujudkannya,” kata Dana.
Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Capt Bobby R Mamahit mengatakan, supaya ongkos logistik bisa diminimalkan, pemerintah akan memastikan kelancaran di pelabuhan. ”Kalau kapal berlayar tentu tidak ada masalah. Persoalannya memang di pelabuhan,” ujarnya.
Menurut Bobby, hambatan itu antara lain salah konsepsi terhadap penggunaan lahan penumpukan peti kemas. ”Harusnya, container yard itu hanya untuk transit peti kemas setelah bongkar atau sebelum muat. Praktiknya malah untuk menumpuk barang. Bagaimana dwelling time-nya bisa ditekan?” katanya.
Awal pekan ini, Bobby meninjau Pelabuhan Tanjung Priok. ”Setelah masalahnya dipetakan, saya akan menggelar rapat untuk mencoba menuntaskan persoalan,” kata Bobby.
Sumber : Kompas
Editor : Idham Azka
"Saya tengah berpikir untuk menekuni usaha yang lain,” ujar Ridwan yang malang melintang di usaha kargo selama hampir satu dekade.
Keresahan Ridwan memang beralasan. Betapa tidak? Biaya distribusi 16 ton jeruk dari Palopo ke Makassar (320 kilometer) menggunakan dua truk ukuran sedang menelan biaya Rp 8 juta. Pengiriman dari Makassar ke Jakarta dikenai biaya Rp 1,5 juta per kontainer. Belum lagi biaya bongkar muat di Pelabuhan Makassar dan Tanjung Priok yang menelan ongkos Rp 1,3 juta.
Total biaya itu jauh lebih mahal daripada biaya pengiriman jeruk dari Shanghai ke Jakarta yang hanya 500 dollar AS (sekitar Rp 5 juta). ”Kalau begini terus, bagaimana produk lokal bisa bersaing?” ujar Ridwan.
Apa yang dialami Ridwan diungkapkan pula oleh Hengky Pratoko, Ketua Umum Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia Jawa Timur. Menurut Hengky, biaya pengiriman peti kemas antarpulau di Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan biaya pengiriman barang ke sejumlah negara.
Sebagai perbandingan, biaya pengiriman dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, ke Makassar Rp 4,5 juta-Rp 7 juta per peti kemas ukuran 20 kaki (TEUs) dan Surabaya-Sorong Rp 13 juta-Rp 17 juta per TEUs. ”Padahal, biaya pengiriman dari Surabaya ke Malaysia hanya 350 dollar AS (sekitar Rp 3,4 juta) per TEUs, sedangkan biaya pengiriman Surabaya-Beijing, China, hanya sekitar 400 dollar AS (setara Rp 3,8 juta) hingga 500 dollar AS (setara Rp 4,85 juta),” kata Hengky.
Selain biaya pengiriman yang tinggi, pengusaha juga harus menanggung biaya lain akibat lamanya waktu tunggu di pelabuhan. Hengky mencontohkan, waktu tunggu bagi kapal kargo dan peti kemas di Pelabuhan Tanjung Perak bisa mencapai 7-16 hari.
Tentunya, hal ini berimbas pada membengkaknya biaya penggunaan kapal. ”Pemilik komoditas bisa menanggung denda keterlambatan pemakaian kapal 5.000-10.000 dollar AS (sekitar Rp 48,5 juta-Rp 97 juta) per hari. Semakin lama waktu tunggu tentu saja merugikan pengusaha,” kata Hengky.
Ketua Dewan Pimpinan Cabang Organisasi Pengusaha Nasional Angkutan Bermotor di Jalan Tanjung Perak Kodi Lamahayo mengungkapkan, pengusaha angkutan harus mengeluarkan biaya tambahan Rp 1 juta per hari untuk setiap truk yang menunggu di pelabuhan. ”Artinya, setiap hari ada pembengkakan biaya Rp 800 juta untuk 800 truk yang menganggur,” kata Kodi.
Pengusaha komoditas bisa saja meminta bongkar muat dipercepat, tetapi harus mengeluarkan biaya tambahan. Caranya, mengontrak para tenaga kerja bongkar muat dengan sistem borongan bukan kerja per giliran. Namun, biaya yang dikeluarkan dua kali lipat dibandingkan kontrak kerja biasa.
Rokhim, kepala perwakilan sebuah perusahaan kargo di Jayapura, mengatakan, kendala selain keterbatasan area bongkar muat adalah waktu pelayanan yang kurang efektif. Jam kerja efektif memang terhitung 24 jam, tetapi pada umumnya proses bongkar muat hanya efektif sekitar 12 jam.
Di luar itu, menurut Rokhim, pengusaha harus membuat perjanjian dengan buruh dengan memberi uang makan Rp 300.000 untuk siang hari dan Rp 500.000 untuk malam hari. Uang diberikan kepada mandor yang membawahkan 40 buruh.
Untuk membongkar 2.000 ton kargo, biasanya Rokhim membutuhkan waktu tiga hari. ”Kalau satu hari bisa bongkar 500 ton saja kami sudah bersyukur. Belum lagi jika ada kapal Pelni datang, kami harus keluar dulu,” kata Rokhim.
Untuk kargo, Rokhim mengenakan biaya Jakarta-Jayapura Rp 850.000 per ton. Namun, selain ongkos resmi, untuk mengeluarkan kargo dari pelabuhan pun perlu biaya tambahan. Biaya tambahan itu, Rp 20.000-Rp 50.000, diberikan kepada oknum di pintu masuk.
Lemahnya interkoneksi
Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia IV Harry Sutanto mengatakan, biaya pengiriman yang tinggi juga dipengaruhi lemahnya interkoneksi pelabuhan di wilayah Indonesia timur. Pengiriman komoditas dari Makassar ke Kendari (Sulawesi Tenggara), Ternate (Maluku Utara), dan Jayapura (Papua) harus dilakukan melalui Surabaya karena ketiadaan kapal yang langsung melayani rute itu.
Akibatnya, biaya pengiriman pun melonjak 2-3 kali lipat. Ongkos kirim dari Makassar ke Kendari, misalnya, menelan biaya Rp 8,1 juta per peti kemas dengan rincian tarif Makassar-Surabaya Rp 1,4 juta dan Surabaya-Kendari Rp 6,7 juta.
Ketua Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia Sulawesi Selatan dan Barat Sangkala Pawakka mengatakan, peningkatan fasilitas di terminal kargo harus diintegrasikan dengan kondisi pergudangan di luar kawasan pelabuhan. ”Selama ini, tidak semua gudang beroperasi semalam suntuk. Hal ini menghambat distribusi barang keluar dan masuk pelabuhan,” katanya.
Sinergi dibutuhkan untuk menekan biaya operasional pengusaha kargo. Antrean yang terlalu lama menyebabkan pengusaha harus mengeluarkan ongkos tambahan hingga Rp 18 juta per hari. Biaya itu untuk bahan bakar minyak, gaji kru, persediaan air tawar, dan sewa peralatan bongkar muat.
Direktur Operasi Indonesia Port Corporation Dana Amin mengatakan, jika layanan pelabuhan di Indonesia membaik, volume perdagangan antarpulau pasti melonjak. ”PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) kini sedang membangun infrastruktur di pelabuhan. Infrastruktur fisik itu didukung infrastruktur lunak berupa teknologi informasi supaya lebih efisien,” tuturnya.
Jika pelabuhan dan pelayaran efisien sehingga biaya logistik dapat ditekan, lingkup perdagangan akan mencakup seluruh Indonesia. ”Jualan mobil bekas tak lagi hanya di Jakarta. Pedagang dapat mengirimkannya dengan kapal laut ke pulau lain,” ujarnya.
Dana mengilustrasikan, mobil yang akan dijual tinggal dimuat ke dalam kapal. ”Lalu, katakanlah perjalanan kapal selama lima hari. Maka, saat itu pula penjual mobil tinggal menginformasikan mobil yang dijual melalui internet. Ketika tiba di Makassar, misalnya, mobil tersebut tinggal dipindahtangankan ke pembeli,” katanya.
”Efisiensi di pelabuhan dan teknologi untuk menjadikan efisien bukan barang baru, bukan pula produk canggih. Hanya saja, selama ini tidak ada yang mewujudkannya,” kata Dana.
Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Capt Bobby R Mamahit mengatakan, supaya ongkos logistik bisa diminimalkan, pemerintah akan memastikan kelancaran di pelabuhan. ”Kalau kapal berlayar tentu tidak ada masalah. Persoalannya memang di pelabuhan,” ujarnya.
Menurut Bobby, hambatan itu antara lain salah konsepsi terhadap penggunaan lahan penumpukan peti kemas. ”Harusnya, container yard itu hanya untuk transit peti kemas setelah bongkar atau sebelum muat. Praktiknya malah untuk menumpuk barang. Bagaimana dwelling time-nya bisa ditekan?” katanya.
Awal pekan ini, Bobby meninjau Pelabuhan Tanjung Priok. ”Setelah masalahnya dipetakan, saya akan menggelar rapat untuk mencoba menuntaskan persoalan,” kata Bobby.
Sumber : Kompas
Editor : Idham Azka