Andre Surya. (Foto : Istimewa). |
JAKARTA, AKTIFLAB.com -- Pertarungan robot-robot
raksasa yang bisa berubah bentuk menjadi mobil dan memporak-porandakan
Amerika Serikat digemari jutaan orang di seluruh dunia. Buktinya
"Transformer: Revenge of the Fallen" (2009) arahan sutradara Michael Bay
sukses meraup pendapatan USD 836 juta di seluruh dunia.
Produk Hollywood, sebagai raksasa perfilman dunia, meraih untung besar tentu sudah lazim. Namun, tidak banyak yang tahu ketika muncul kredit di akhir film itu, tersemat nama seorang warga Indonesia yang sentuhannya membuat robot-robot itu hidup di layar perak.
Namanya Andre Surya. Dia warga Indonesia pertama yang menjadi bagian dari tim digital artist perusahaan efek visual komputer tiga dimensi Industrial Light and Magic (ILM) LucasFilm cabang Singapura. Ketika bergabung dengan LucasFilm, dia banyak terlibat proyek-proyek besar film Hollywood. Sebut saja Iron Man, Terminator Salvation, dan juga Star Trek.
Pria kelahiran Jakarta 1 Oktober 1984 terkesan bersahaja saat ditemui di kawasan Central Park, Jakarta Barat. Andre hanya mengenakan paduan t-shirt dan celana pendek. Saat berbicara, suaranya cenderung lirih, namun akan meninggi dan bersemangat ketika menceritakan pekerjaannya sebagai digital artist atau sesuatu yang berkaitan dengan hobinya merekayasa teknologi tiga dimensi (biasa disebut 3D).
Lelaki yang mengaku dari kanak-kanak sampai dewasa menghabiskan hidup di kawasan Jelambar, Jakarta Barat ini sejak 1,5 tahun lalu memilih pulang kampung. Sebelumnya, dia meniti karir selama empat tahun di Singapura. Andre juga melalangbuana sampai Kanada selepas lulus SMA pada 2004.
Dia lantas menceritakan tugasnya saat terlibat menggarap proyek Hollywood bersama puluhan staf digital artist LucasFilm lainnya. Andre mengaku mendapat tugas khusus memanipulasi lighting alias pencahayaan.
"Kalau film habis digambar sama animator, kan ada gedung beneran, ada aktor benaran, ada robotnya juga. Dan itu kan kelihatan kayak asli, padahal semua juga tahu kalau itu bohongan. Nah, pekerjaan saya nyatuin bagaimana pencahayaan sama dengan background supaya robot-robot itu kelihatan asli," ujarnya kepada merdeka.com, Kamis (21/2).
Andre menjadi bagian dari kerja tim yang sangat besar. Di dalam sebuah film, rata-rata ada lebih dari 70 orang digital artist, apalagi untuk proyek berdana besar seperti Iron Man atau Transformer.
Berdasarkan pengalaman itu, Andre mengaku beruntung karena ditempa standar kerja Hollywood yang sangat keras dan teliti. Dia mengingat para animator maupun pakar rekayasa 3D di LucasFilm sangat perfeksionis dalam bekerja. Pengalaman itu belum tentu didapatkan jika dia hanya berkarir di dalam negeri.
"Mereka ada satu titik di wajah saja bisa tahu, bahkan supervisor saya bisa memperkirakan penonton setelah ngelihat mata nanti akan memperhatikan mulut dengan efek warna sekian persen, sampai sedetail itu," paparnya.
Dia juga mencicipi pola kerja yang berbeda-beda dengan sutradara kenamaan Amerika. Andre menuturkan ada sutradara yang sangat cerewet menginginkan adegan tertentu tanpa boleh melenceng. Namun di sisi lain, ada pula sutradara seperti Michael Bay yang memberikan keleluasaan bagi digital artist sepertinya untuk sedikit berimprovisasi.
Ketika bergabung dengan perusahaan yang berdiri sejak 1971 itu, Andre baru berusia 22. Dia menjadi pegawai termuda di perusahaan milik penemu efek visual kenamaan George Lucas yang tenar berkat seri Star Wars itu. Tahun-tahun pertama dia kenang sangat berat karena kebanyakan rekannya sesama digital artist sudah berumur dan sangat mahir dalam rekayasa digital.
"Tahun pertama itu saya banyak tanya-tanya, tapi karena saya menggemari 3D jadi tidak masalah," akunya.
Terlibat dalam proyek Hollywood rupanya tidak membuatnya besar kepala. Dia jadi memahami betapa beratnya menciptakan film animasi, apalagi yang berdurasi panjang. Setiap kali menonton film yang memiliki efek visual atau animasi, otomatis kepalanya akan memikirkan bagaimana orang-orang di belakang layar bekerja keras memanjakan mata penonton.
"Untuk bikin adegan berdurasi lima menit di Transformer, saya butuh waktu sebulan. Selama itu mantengin gambar itu-itu saja, sampai saya tahu jerawat di muka Shia LeBouf (pemeran utama Transformer-red)," cetusnya.
Dari semua capaian yang telah dia dapatkan di usia semuda itu, Andre mengaku kepuasan terbesar bukanlah gaji tinggi. Namun pembuktian bahwa bakatnya diapresiasi industri, khususnya Hollywood yang memiliki iklim persaingan sangat keras.
"Kepuasan terbesar ya ketika nama saya muncul di kredit film," ujarnya sambil tersenyum.
Lelaki yang mengaku sehari biasa menonton minimal dua film ini mengaku film favoritnya adalah Avatar (2009) karya sutradara kondang James Cameron. Dia menilai efek visual film tersebut yang menggabungkan gerakan asli dengan animasi itu nyaris sempurna. "Avatar bagus banget, saya tahu bikinnya luar biasa berat," tegasnya.
Pria yang masih melajang sampai sekarang itu kini bermimpi mengembangkan perusahaan digital animation sendiri di Indonesia. Bersama enam rekan animator lain, Andre mendirikan Enspire Animation. Itu pula alasannya pulang ke Tanah Air meski gaji dan karir lebih mentereng terdapat di luar negeri.
"Karena saya tipe orang yang enggak puas dengan itu-itu saja. Prestasinya harus maju lagi, saya kerja mulai stuck, jadi saya butuh challenge baru. Dengan buka perusahaan ini bisa jadi kita mengerjakan proyek Hollywood di Indonesia dan memajukan negara," kata Andre.
Dia mengaku bermimpi bisa mengikuti jejak George Lucas, tokoh panutannya, mengembangkan industri hiburan di Indonesia yang tidak hanya terkonsentrasi pada animasi. "Saya ingin bisa mengembangkan Enspire enggak cuma di animasi saja, tapi nanti ada Enspire music, Enspire sound, jadi entertainment industri lah, jual mainan juga," tuturnya yakin.
Produk Hollywood, sebagai raksasa perfilman dunia, meraih untung besar tentu sudah lazim. Namun, tidak banyak yang tahu ketika muncul kredit di akhir film itu, tersemat nama seorang warga Indonesia yang sentuhannya membuat robot-robot itu hidup di layar perak.
Namanya Andre Surya. Dia warga Indonesia pertama yang menjadi bagian dari tim digital artist perusahaan efek visual komputer tiga dimensi Industrial Light and Magic (ILM) LucasFilm cabang Singapura. Ketika bergabung dengan LucasFilm, dia banyak terlibat proyek-proyek besar film Hollywood. Sebut saja Iron Man, Terminator Salvation, dan juga Star Trek.
Pria kelahiran Jakarta 1 Oktober 1984 terkesan bersahaja saat ditemui di kawasan Central Park, Jakarta Barat. Andre hanya mengenakan paduan t-shirt dan celana pendek. Saat berbicara, suaranya cenderung lirih, namun akan meninggi dan bersemangat ketika menceritakan pekerjaannya sebagai digital artist atau sesuatu yang berkaitan dengan hobinya merekayasa teknologi tiga dimensi (biasa disebut 3D).
Lelaki yang mengaku dari kanak-kanak sampai dewasa menghabiskan hidup di kawasan Jelambar, Jakarta Barat ini sejak 1,5 tahun lalu memilih pulang kampung. Sebelumnya, dia meniti karir selama empat tahun di Singapura. Andre juga melalangbuana sampai Kanada selepas lulus SMA pada 2004.
Dia lantas menceritakan tugasnya saat terlibat menggarap proyek Hollywood bersama puluhan staf digital artist LucasFilm lainnya. Andre mengaku mendapat tugas khusus memanipulasi lighting alias pencahayaan.
"Kalau film habis digambar sama animator, kan ada gedung beneran, ada aktor benaran, ada robotnya juga. Dan itu kan kelihatan kayak asli, padahal semua juga tahu kalau itu bohongan. Nah, pekerjaan saya nyatuin bagaimana pencahayaan sama dengan background supaya robot-robot itu kelihatan asli," ujarnya kepada merdeka.com, Kamis (21/2).
Andre menjadi bagian dari kerja tim yang sangat besar. Di dalam sebuah film, rata-rata ada lebih dari 70 orang digital artist, apalagi untuk proyek berdana besar seperti Iron Man atau Transformer.
Berdasarkan pengalaman itu, Andre mengaku beruntung karena ditempa standar kerja Hollywood yang sangat keras dan teliti. Dia mengingat para animator maupun pakar rekayasa 3D di LucasFilm sangat perfeksionis dalam bekerja. Pengalaman itu belum tentu didapatkan jika dia hanya berkarir di dalam negeri.
"Mereka ada satu titik di wajah saja bisa tahu, bahkan supervisor saya bisa memperkirakan penonton setelah ngelihat mata nanti akan memperhatikan mulut dengan efek warna sekian persen, sampai sedetail itu," paparnya.
Dia juga mencicipi pola kerja yang berbeda-beda dengan sutradara kenamaan Amerika. Andre menuturkan ada sutradara yang sangat cerewet menginginkan adegan tertentu tanpa boleh melenceng. Namun di sisi lain, ada pula sutradara seperti Michael Bay yang memberikan keleluasaan bagi digital artist sepertinya untuk sedikit berimprovisasi.
Ketika bergabung dengan perusahaan yang berdiri sejak 1971 itu, Andre baru berusia 22. Dia menjadi pegawai termuda di perusahaan milik penemu efek visual kenamaan George Lucas yang tenar berkat seri Star Wars itu. Tahun-tahun pertama dia kenang sangat berat karena kebanyakan rekannya sesama digital artist sudah berumur dan sangat mahir dalam rekayasa digital.
"Tahun pertama itu saya banyak tanya-tanya, tapi karena saya menggemari 3D jadi tidak masalah," akunya.
Terlibat dalam proyek Hollywood rupanya tidak membuatnya besar kepala. Dia jadi memahami betapa beratnya menciptakan film animasi, apalagi yang berdurasi panjang. Setiap kali menonton film yang memiliki efek visual atau animasi, otomatis kepalanya akan memikirkan bagaimana orang-orang di belakang layar bekerja keras memanjakan mata penonton.
"Untuk bikin adegan berdurasi lima menit di Transformer, saya butuh waktu sebulan. Selama itu mantengin gambar itu-itu saja, sampai saya tahu jerawat di muka Shia LeBouf (pemeran utama Transformer-red)," cetusnya.
Dari semua capaian yang telah dia dapatkan di usia semuda itu, Andre mengaku kepuasan terbesar bukanlah gaji tinggi. Namun pembuktian bahwa bakatnya diapresiasi industri, khususnya Hollywood yang memiliki iklim persaingan sangat keras.
"Kepuasan terbesar ya ketika nama saya muncul di kredit film," ujarnya sambil tersenyum.
Lelaki yang mengaku sehari biasa menonton minimal dua film ini mengaku film favoritnya adalah Avatar (2009) karya sutradara kondang James Cameron. Dia menilai efek visual film tersebut yang menggabungkan gerakan asli dengan animasi itu nyaris sempurna. "Avatar bagus banget, saya tahu bikinnya luar biasa berat," tegasnya.
Pria yang masih melajang sampai sekarang itu kini bermimpi mengembangkan perusahaan digital animation sendiri di Indonesia. Bersama enam rekan animator lain, Andre mendirikan Enspire Animation. Itu pula alasannya pulang ke Tanah Air meski gaji dan karir lebih mentereng terdapat di luar negeri.
"Karena saya tipe orang yang enggak puas dengan itu-itu saja. Prestasinya harus maju lagi, saya kerja mulai stuck, jadi saya butuh challenge baru. Dengan buka perusahaan ini bisa jadi kita mengerjakan proyek Hollywood di Indonesia dan memajukan negara," kata Andre.
Dia mengaku bermimpi bisa mengikuti jejak George Lucas, tokoh panutannya, mengembangkan industri hiburan di Indonesia yang tidak hanya terkonsentrasi pada animasi. "Saya ingin bisa mengembangkan Enspire enggak cuma di animasi saja, tapi nanti ada Enspire music, Enspire sound, jadi entertainment industri lah, jual mainan juga," tuturnya yakin.